The Transformation Game: Gagal dan Ikhlas

Kala itu, di salah satu siang bulan Juni, seharusnya kami rapat. Tiba-tiba, Bu A mengeluarkan papan game, mirip monopoli gitu. Beliau ingin menyegarkan pikiran kami dulu sebelum rapat, dengan memainkan sebuah permainan yang beliau dapatkan dan pelajari di Amerika. Jadilah Bu A, Bu D, Mas A, Mba N, dan aku main dulu. Namanya The Transformation Game. Kayaknya seru gitu ya dengernya, game. Tapi ini bukan sembarang game. Game ini merupakan game psikologi dan merupakan hasil penelitian di Skotlandia. “The Transformation Game is a joyful way of understanding and transforming the way you play your life.”

The Transformation Game Board

Karena keterbatasan waktu, kami main 1 set selama 30 menit (biasanya bisa berjam-jam, bahkan ada yang 40 jam). Kali ini yang bertugas sebagai fasilitator adalah Bu A. Tiap orang nanti akan mengutarakan tujuannya main game itu lalu dipersilakan ambil 1 kartu antara Life Insight (pandangan positif untuk mencapai tujuan), Life Setback (halangan untuk mencapai tujuan), dan akan mendapatkan reward berupa kartu Life Angel. Tiap putaran masing-masing peserta bebas mau ambil kartu yang mana dulu.

Giliranku tiba. Tujuanku, “aku ingin dari aku main game ini, aku bisa dapat pandangan untuk lebih berani dalam mengambil keputusan tentang apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Keputusan yang asalnya dari diriku sendiri, bukan karena orang-orang disekitarku. Apalagi di usiaku ini, aku masih di persimpangan jalan.” Lalu aku memutuskan untuk ambil kartu Life Setback dulu.

Life Setback: Failure

Isi kartunya… Tentang kegagalan. Kok… ngena banget. Aku menggali lagi ke hati dan pikiran. Ternyata, yang belum berhasil kubahasakan kenapa aku bisa sebingung ini mengambil keputusan adalah karena kegagalan yang baru aja aku alami. Then I told my story (yes, surprisingly I could tell it to them, padahal biasanya buat cerita ke orang yang udah deket aja gak bisa) and they listened to me. Feedback yang kudapat dari beliau-beliau ini sungguuh menenangkan. Ringkasnya: masih belajar, gakpapa. Orang tua pasti selalu support. Rencana Allah tuh lebih indah.

Life Insight: Inspired everyone

Putaran berikutnya, aku mengambil kartu Life insight. Awalnya aku bingung, maksudnya gimana? Aku mikir, justru saat orang merasa terinspirasi karena aku, tanggung jawabnya lebih berat. They’re watching, so I always have to look ok. Tapi kata mereka… Mereka melihatku sebagai seorang aku, bukan atas apa yang telah aku raih atau kegagalanku. Tentang caraku berproses dan bertumbuh. And, it’s ok to be yourself, the truest side of yourself, ga usah terbebani dengan ekspektasi orang-orang disekitar. Be brave.

Dan kartu terakhir yang diambil sebagai reward: Life Angel. Reward apa yang aku dapat? Grace. Grace itu punya banyak arti, maka aku memutuskan membuka kamus dan kata yang tak sengaja kubaca pertama adalah: keikhlasan. Langsung, jleb. Mungkin ini pula yang belum berhasil kubahasakan dan akhirnya menemukan kata ini. Ikhlas. Ikhlaskan, maka kemudian pikiranmu akan lebih jernih dan saat akan mengambil keputusan juga jadi lebih tenang.

Life Angel: Grace

Sungguh permainan yang membuat kami berkontemplasi. Kontemplasi yang nggak bikin tenggelam, karena ada beliau-beliau sebagai rahmat dari Allah untuk berdiskusi, mencari solusi, dan mendapat energi. Bikin mikir juga, bahwa everyone has their own battle. Ada yang sedang bingung bagaimana cara menghadapi anaknya, ada juga yang bingung bagaimana menghilangkan stigma ‘anak bungsu’ dari orang tuanya, dan ada yang bingung bagaimana caranya menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi keluarganya.

Setelah main game ini, jadi punya pandangan baru untuk menghadapi tujuan diawal main game ini. Ini game keren, sih. :”)) Salah satu media kontemplasi yang oke. Semua orang memang punya masalahnya masing-masing. But dont forget to reach out, atau nanti tenggelam. Be kind, always. And help each other.

Itu tadi baru main set kecil, belum memakai semua kartu. Bayangkan kalau pakai semua kartu, pasti kontemplasi dan diskusinya bakalan lebih dalam. Bisa jadi healing juga.

Setelah permainan itu, pertanyaan yang masih terngiang dan masih kucari jawabnya adalah,

emang gagal itu apa sih?

Output

Terlalu sering menjadi pendengar,
lupa bagaimana caranya agar mudah didengar.
Terlalu sering mengibaratkan gelas kosong,
lupa bagaimana cara menyalurkan isi melalui corong.

Banyak input, minim di output, kok bisa? Prosesnya ada yang pampat? Mesinnya macet?

Bukan sebuah pembelaan, tapi… Kadang, semakin kita bisa merasakan, semakin susah untuk mengaksarakan.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa susah? *tarik nafas, hembuskan*

Semoga, setelah ini, kuantitas dan kualitas output-nya meningkat, ya. Semoga.